Dadakan pergi ke Bali
sekaligus menjadi awal perjalanan Saya menapakkan kaki disana. Bali dengan
segala keindahan alam dan budayanya. Kesempatan ini pula Saya ambil atas dasar
‘request’ untuk mengalihkan akomodasi cuti gratis dari jadwal semula ke Kediri
menjadi ke Bali terlebih dulu. Saya berencana untuk berkunjung ke rumah teman
Saya, Ni Putu Dina dan I Kadek Cici Anjani namun ternyata jarak rumah keduanya
cukuplah jauh bila ditempuh dari Negara Jembrana ke Seraya Karangasem sekitar
4-5 jam. Akhirnya Saya pun memutuskan untuk menginap di rumah Bibi teman Saya
Dina di Denpasar terlebih dulu baru keesokan harinya ke Karangasem.
Sekilas Cerita di
Denpasar
Setelah ‘drama’
keberangkatan pesawat dari Jakarta ke Ngurah Rai Bali yang sempat delay karena
diprank maskapai, naik taxi kena modus, masih terkena drama lagi saat sampai di
Denpasar yaitu titik maps dan alamat yang didatangi tidak sesuai. Namun
perjalanan tetap berlanjut dan Saya tidak mau ketinggalan momen dari mlipir ke
Pasar Badung, jalan-jalan di kota tuanya Denpasar di Jalan Gajah Mada hingga
jajan atau kuliner di Mie Kober. Semua itu tentu tidak terlepas dari rasa syukur
dan bantuan dari teman Saya, Dina.
Perjalanan dari Denpasar
ke Karangasem Bali
Hari kedua ke Karangasem
Saya mulai perjalanan dari terminal Ubung Denpasar ke Karangasem dengan
menempuh perjalanan sekitar 1 jam lebih menggunakan angkot. Menurut informasi,
angkutan umum nantinya hanya bisa mengantarkan sampai Kecamatan Manggis
Amplapura saja. Setelah sampai disana, benar dugaan Saya bahwa angkot sudah
hampir punah dan berganti sepeda motor.
Perjalanan selanjutnya
Saya dijemput menggunakan motor dari Manggis ke Seraya Karangasem dan menempuh
perjalanan sekitar 40-50 menit. Karangasem letaknya paling timur Bali dan
berbatasan dengan Selat Lombok maka tidak perlu diragukan lagi kalau eksotisnya
Bali sangat terlihat disini. Sepanjang
perjalanan pun mata Saya tidak berhenti melihat pemandangan bagus di kanan atau
kiri jalan. Semua tampak indah dan wah. Bahkan jalan rayanya mulus hingga
wilayah paling ujung timur Bali. Kereen.
Perkenalan Sebagai Awal
Kekeluargaan
Hari ketiga di Bali, Saya
makin betah selain karena sambutan hangat yang lagi-lagi Saya dapatkan dari
keluarga Cici. Proses adaptasi di lingkungan baru seperti ini
sangat Saya nikmati seperti berkenalan dengan keluarganya hingga berkenalan
dengan kerabat dekatnya bernama Komang Depy sekeluarga, pergi ke pasar malam bersama
rombongan menggunakan mobil pickup dengan tanjakan dan tikungan tajam, menikmati
ikan bakar segar hasil tangkapan Bapaknya Cici, pergi ke pantai saat ada acara
Melasti sampai menjadi pusat perhatian karena menggunakan kerudung sendiri, memasak
dan diajari membuat sumping oleh Bu Ni Wayan Galang, hingga mencicipi buah
lontar. Saya memang orang baru disana, tapi sama sekali tidak merasa asing. Perkenalan
ini menjadi awal kekeluargaan bagi Saya, matur suksma Cici sekeluarga.
Membuat Sumping Bersama
Bu Wayan
Nama sumping baru Saya
dengar saat berada di Karangasem. Sumping adalah jajanan tradisional Bali yang
bungkusnya menggunakan daun pisang. Kata Bu Wayan, nanti kita siapkan dulu labu
atau waluh dan kelapa parut. Usahakan untuk memakai labu yang tua agar hasilnya
lebih legit atau manis. Saya dan Cici kemudian bekerjasama untuk menyiapkan
parutan labu kuning dan kelapa, sedangkan Ibunya dengan telaten membuat adonannya
seperti tepung beras, air, dan garam. Setelah adonan tercampur merata barulah
kami membungkusnya dengan daun pisang dan terakhir kukus sumping hingga matang selama
30-45 menit. Saat matang, Saya pun tidak melewatkan kesempatan perdana untuk
mencicipi dan ternyata rasanya enak, manis, dan gurih. So nyumii. Sumping ini hampir
mirip nagasari di Jawa namun beda diisiannya yang menggunakan pisang dan tepung
terigu.
Mencicipi Buah Lontar hingga
Cerita Menderes Manisnya Nira
Mencicipi buah lontar yang
baru dipetik dari kebun juga menjadi pengalaman pertama saya. Awalnya Saya
bertanya pada teman Saya, apa yang dilakukan bapaknya di atas pohon, ternyata
sedang menyadap siwalan atau ental atau bahasa kerennya menderes nira di pohon
lontar. Ternyata nira selanjutnya akan menjadi bahan utama pembuatan tuak dan
arak Bali. Untuk prosesnya sendiri tidak instan seperti fermentasi, menjaga suhu
ruang, proses pembakaran, hingga penyimpanan. Sangat lama apalagi agar hasilnya
berkualitas. Saya juga penasaran dengan rasa buah lontar dan akhirnya teman
Saya mengupaskannya untuk Saya. Rasa lontar cukup manis dan sedikit masam namun
enak dan segar serta bertekstur sedikit lembek. Berbeda dengan kolang-kaling
yang tawar serta teksturnya padat.
Itulah cerita dibalik
dadakan pergi ke Bali hingga belajar membuat sumping dan mencicipi buah lontar.
Perjalanan yang mengesankan selama di Bali, semoga dilain kesempatan bisa
berkunjung kesana lagi. ***
Komentar
Posting Komentar