Motoran dari Kediri ke
Ngawi membawa tantangan tersendiri, 3 jam sudah waktu yang kami tempuh dimulai
dari kota asal kami, Pare Kediri menuju Ngawi pukul 06.30 wib. Berbekal nyali
para perempuan tangguh sebelum menjelang siang atau sekitar pukul 09.00 wib
kami pun telah sampai di kota yang mendapat julukan kota bambu dengan icon
monumen bambu bertuliskan “Ngawi Ramah”.
Benteng Van Den Bosch
atau dikenal dengan Benteng Pendem yang terletak di pertemuan sungai Madiun dan
sungai Bengawan Solo, berlokasi tidak begitu jauh dari pusat kota yaitu
berjarak 1 km. Setelah memasuki lokasi Benteng Van Den Bosch kami parkirkan
motor dan membayar tiket masuk sebesar 10.000 rupiah.
Pemugaran Benteng Van Den
Bosch
Memasuki pelataran
benteng, menurut versi yang Saya baca dan pengamatan secara langsung, memang benteng
ini terlihat seperti dipendam dan dibangun lebih rendah dari tanah
disekelilingnya. Fakta menariknya benteng ini ternyata sudah pernah dilakukan
pemugaran di mulai dari tahun 2020 hingga selesai di Januari 2023 dan terlihat
dari cat dan atapnya yang terlihat baru. Pintu dan jendelanya pun sepertinya
sudah diganti atau diperbaiki dari wujud aslinya. Saya yang termasuk salah satu
pecinta bangunan bersejarah yang sangat menikmati gaya naturalis merasa sedikit
kecewa karena belum sempat berkunjung dan melihat benteng sebelum pemugaran.
Meskipun begitu patut diacungi jempol para pekerja pemugaran ini, bagaimana
tidak benteng peninggalan Belanda tahun 1839 hingga 1845 ini kemungkinan juga
sudah mengalami banyak kerusakan, namun setelah berkeliling menurut Saya
bangunan benar-benar nyaris sempurna dan tidak ada kerusakan. Tapi ada pula
peringatan pintu yang tidak boleh dibuka karena terdapat lubang, kemungkinan
terdapat kerusakan parah sehingga sudah tidak bisa diakses pengunjung.
Makam K.H Muhammad
Nursalim di Area Benteng Pendem
Bukan sekedar
mengabadikan foto, setelah puas berkeliling di bangunan Saya juga sempat berkunjung
ke makam K.H Muhammad Nursalim. Dari sejarahnya, beliau adalah utusan setia Pangeran Diponegoro. Selain itu beliau juga
mengajarkan tentang ajaran islam dan perlawanan terhadap Belanda yang kemudian
membuat Belanda merasa terdesak dan melakukan perlawanan bersama
pasukannya.
Dalam kutipan buku
Jejaring Ulama Diponegoro tahun 2019, Zainul Bilal Bizalwie menyatakan bahwa KH
Muhammad Nursalim adalah putra dari Tumenggung Rojo Niti yaitu Kiai Maktub.
Saat Pangeran Diponegoro
sudah ditangkap, pengikutnya masih melakukan pembangkangan terhadap Belanda.
Sedangkan dari beberapa kali pertempuran, Sang Kiai mampu meloloskan diri
hingga kebal terhadap tembakan. Namun Belanda tak kalah akal dan melalui
siasatnya kemudian berhasil menangkap Kiai Nursalim dan membawanya ke benteng.
Beliau diberondong peluru namun tidak satupun bersarang di tubuhnya bahkan
hingga kebal terhadap senjata tajam. Belanda pun tetap memiliki taktik,
diikatnya Ia dengan tali tambang kemudian dikubur hidup-hidup hingga Kiai
menghembuskan napas terakhir dan dimakamkan tidak jauh dari kompleks benteng.
Meskipun begitu makam yang terletak di Kawasan benteng milik Belanda tentu
membawa aib tersendiri terutama di kalangan pihak penjajah. Artikel ini
selanjutnya bisa Anda baca di Kisah Lain di Balik Benteng Pendem Ngawi.
Sumur atau Kuburan Massal
Selatan Benteng Pendem
juga terdapat sumur, namun saat Saya amati sumur tersebut sudah tertutup semak
belukar sehingga Saya tidak bisa memastikan kedalamannya. Konon sumur ini
dijadikan kuburan massal untuk membuat jenazah pekerja rodi maupun korban
tahanan hingga pemberontak pada masa PKI.
Perjalanan selalu
menyimpan misteri dan sejarah, yah meskipun Saya masih belum mendapatkan
informasi yang lengkap disana. Puas berkeliling dan akan berfoto bersama teman
Saya, ide muncul kenapa kami tidak minta tolong seseorang untuk memfotokan kami
sebagai kenang-kenangan. Akhirnya kami meminta tolong pada seorang perempuan
yang rumahnya asli Ngawi untuk memfotokan kami, tentu tidak lepas dari
pertanyaan “Mbak, kuliner khas disini apa?” Dan dengan tertawa Si Mbak menjawab
“Tepo Tahu, Mbak”
Sepanjang perjalanan nama
tersebut memang tidak lepas dari pandangan, Tepo Tahu, Tepo Kecap hingga Tepo
Sayur. Selama perjalanan sebelum sampai benteng pun selalu muncul di benak
kami, apa sebenarnya Tepo itu? Setelah mendapatkan informasi barulah kami tahu
bahwa Tepo adalah lontong. Akhirnya kami tidak jadi membeli kuliner berbau
Tepo, karena di Kediri juga banyak.
Kuliner Legendaris Ayam
Panggang Bu Setu Gandu Karangrejo Magetan
Setelah beranjak dari
Ngawi kami memutuskan berkuliner di Magetan searah dengan perjalanan kami
selanjutnya. Setelah sampai di tempat, Saya baru tahu ternyata kebanyakan rumah
makan di Magetan nuansanya rumahan, Ayam Panggang Bu Setu salah satunya.
Menurut informasi, rumah makan ini sudah berdiri sejak tahun 1991 dan masih
eksis hingga kini meskipun berada di dalam gang tapi pengunjungnya tidak
main-main, terlihat beberapa foto pajangan seperti Pak Sby beserta keluarga
hingga komedian ternama.
Saat memesan pun Saya
takjub dengan cara pengolahannya yang masih menggunakan cara tradisional yaitu
dipanggang dengan menggunakan tungku kayu bakar. Kami memesan untuk 2 orang,
tersedia pilihan ayam panggang pedas dan gurih asin. Kami menunggu di ruang
tamu lesehan khas rumahan dan saat makanan datang kami kaget karena porsinya
jumbo dan bisa untuk makan 3-5 orang. Gilee!!!
Tertata rapi nasi 1
bakul, ayam panggang 1 piring penuh, lengkap dengan lalapan dan botokan. Kami
juga bertanya pada pelayan apakah bisa dibungkus jika tidak habis dan
jawabannya bisa. Total makan yang kami habiskan saat itu adalah 155.000 lengkap
dengan minuman. Selesai makan kami pun melanjutkan perjalanan untuk tujuan
selanjutnya.
Pelajaran buat kami saat
itu adalah sebelum mampir ke tempat makan seharusnya melihat ulasan terlebih
dulu. Tapi tidak masalah, 3 jam motoran memang sangat berkesan dengan
perjalanan dan pelajaran.
Komentar
Posting Komentar