Langsung ke konten utama

Bertemu dan Bertamu hingga Belajar Filosofi Rumah di Bali


Setiap kali berkunjung ke tempat baru Saya selalu menemukan pelajaran yang berharga terutama terkait perbedaan. Kalau kata Saya, apalah arti warna tembok jika yang beragam warnanya itu lebih indah. Bali menjadi salah satu bucketlist yang Saya tulis beberapa tahun lalu dan alhamdulillah terwujud pada 2023. Bersyukur dipertemukan dengan teman lintas pulau dan sekalinya bertemu teman baru maka belum afdol rasanya jika belum bertamu.  Selama perjalanan beberapa hari di Bali, Saya cukup excited dengan suguhan alam yang asri, barisan bukit yang indah, laut yang biru dan satu lagi rumah adat Bali yang khas.

Khasnya Rumah Adat Bali

Menurut kacamata awam Saya, sepanjang perjalanan dari Denpasar menuju Karangasem sangat banyak dijumpai gapura halaman rumah yang mirip candi atau pura serta atap khas Bali.  Mungkin dulu kita juga pernah mendengarnya pada mata pelajaran sejarah, ada sebuah manuskrip Hindu dengan judul “Lontar Asta Kosala Kosali” yaitu tentang aturan pembuatan rumah, pura atau tempat ibadah. Arsitekturnya khas Bali namun juga ada unsur Jawa kunonya terdapat bahan dasar yang juga sering saya jumpai disana seperti batu bata, bambu, jerami, dan kayu kelapa.





Filosofi Rumah di Bali

Rumah pada umumnya dibangun agar penghuni rumah merasa nyaman dan aman, lantas apakah pembangunan rumah di Bali memiliki filosofi tersendiri?  Teman Saya pernah bercerita bahwa di Bali ada aturan pembangunan bahkan pembagian ruang. Sekilas mirip seperti aturan Cina ala fengshui, kereen.

Saya juga pernah membaca di laman artikel bahwa Bali juga memiliki beberapa macam rumah adat dan juga pernah secara singkat diceritakan oleh teman Saya bahwa selain ukiran, warna, maupun peralatan juga mengandung arti dan simbol untuk keindahan dan penyampaian komunikasi.

Rumah di Bali juga memiliki pura keluarga, itu yang terlihat saat Saya berada di rumah Bibinya Dina dan juga di rumah Cici. Terdapat pula sanggah atau tempat suci, dapur hingga lumbung, arca, dan masih banyak lagi yang belum Saya mengerti hehe.

Menurut informasi, pembangunan rumah di Bali juga tidak terlepas dari harmonisasi yang meliputi aspek Tri Hita Karana yaitu dewa, manusia, dan alam.  Tentunya seperti fungsi rumah pada umumnya, meliputi hubungan baik antara penghuni rumah dengan lingkungannya, hubungan baik penghuni rumah dengan Tuhan, serta sesama penghuni di rumahnya tersebut.

Saya juga sempat penasaran dan bertanya pada Ibunya Cici perihal kenapa antara rumah dan ruang makan di rumahnya dipisah.  Beliau kemudian menjawab, “tidak ada maksud apa-apa, Mbak hanya saja lebih enak saja bisa makan bersama-sama di luar.”

Bali memang menganut sistem kasta yang kental dan mungkin juga terkait bangunan rumah hingga bentuk dasarnya mungkin juga masih kental dengan kasta, maybe hehe.

Apapun itu yang jelas orang Bali sangat ramah dengan tamu. Saya saja betah berlama  tinggal disana. Bukan hanya terpukau dengan rumah adat Bali saja tetapi juga alamnya. Next artikel akan Saya share serunya berwisata alam di Karangasem Bali. ***




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukit Mencol Karangasem Bali Timur, Surga Tersembunyi dengan Pura Suci dan Pantai Gili Selang

  Perjalanan di Bali berlanjut ke wilayah Bali paling Timur yaitu ke Bukit Mencol.   Bukit Mencol terletak di Banjar Gili Selang tepatnya di Seraya Timur. Pagi-pagi buta, Saya diajak Cici untuk berkeliling desa, berwisata, sekaligus menikmati pemandangan matahari terbit. Dalam hati   berkata, wisata apa yang pagi-pagi buta sudah buka? Kemudian Saya mengiyakan tanpa mandi maupun berdandan hehe. Namun tidak disangka makin ke ujung timur makin terlihat keren. Sepanjang perjalanan, Saya hanya ‘mlongo’ dan terus mengaktifkan kamera ponsel mode foto. Tidak disangka pemandangan hijau perbukitan dengan landscape pura suci dan pantai begitu indah tampak dari kejauhan. Jalanan pun sudah mulus beraspal. Nikmat mana lagi yang kau dustakan? Alasan Bangunan di Bali Tidak Melebihi Pohon Sedikit cerita saat perjalanan, pura suci Bali ternyata ada juga yang terletak di atas bukit. Saya juga tidak melihat ada rumah yang bangunannya menjulang tinggi atau melebihi pohon kelapa. Cici ke...

Kisah Lain di Benteng Pendem Van Den Bosch Ngawi dan 3 Jam Motoran yang Berkesan

  Motoran dari Kediri ke Ngawi membawa tantangan tersendiri, 3 jam sudah waktu yang kami tempuh dimulai dari kota asal kami, Pare Kediri menuju Ngawi pukul 06.30 wib. Berbekal nyali para perempuan tangguh sebelum menjelang siang atau sekitar pukul 09.00 wib kami pun telah sampai di kota yang mendapat julukan kota bambu dengan icon monumen bambu bertuliskan “Ngawi Ramah”. Benteng Van Den Bosch atau dikenal dengan Benteng Pendem yang terletak di pertemuan sungai Madiun dan sungai Bengawan Solo, berlokasi tidak begitu jauh dari pusat kota yaitu berjarak 1 km. Setelah memasuki lokasi Benteng Van Den Bosch kami parkirkan motor dan membayar tiket masuk sebesar 10.000 rupiah. Pemugaran Benteng Van Den Bosch Memasuki pelataran benteng, menurut versi yang Saya baca dan pengamatan secara langsung, memang benteng ini terlihat seperti dipendam dan dibangun lebih rendah dari tanah disekelilingnya. Fakta menariknya benteng ini ternyata sudah pernah dilakukan pemugaran di mulai dari tahun 2...