Saat melintasi kota yang
mendapat julukan Bumi Reog, di sepanjang jalan di Desa Jabung Kabupaten
Ponorogo Saya selalu menemukan penjual dawet yang kira-kira kalau dihitung ada
sekitar 20 warung berjejer di sepanjang jalan.
Sambil berkendara
diteriknya cuaca, saya pun akhirnya menikmati perjalanan sambil berdendang
melantunkan lagu Cendol Dawet yang digaungkan oleh Godfather of Broken Heart
Didi Kempot. Kira-kira liriknya seperti ini :
“Nangis batinku,
nggrantes uripku” (menangis batinku, merasakan kehidupanku)
“Teles kebes netes eluh
neng dodoku” (basah kuyup menetes air mata di dadaku)
“Cendol dawet, cendol
dawet seger”
Kemudian saya memutuskan
untuk mampir ke salah satu warung yang dekat perempatan Jabung, Dawet Jabung Bu
Sumini namanya. Formasi meja pelanggan ditata mengelilingi penjual. Aneka
gorengan seperti tahu isi, pisang goreng, tempe goreng, lentho, dan lain-lain
pun tersaji disana.
“Bu, pesan dawet tigo
nggih,” ucap saya sembari duduk. Memesan dawet 3 porsi untuk 3 orang waktu itu.
Sembari menunggu,
gorengan tempe yang lebarnya satu jenggal jari saya bagi dua dengan teman saya.
Ternyata nagih juga rasanya. Satu kurang dua kebanyakan, begitulah biasanya. Tangan
penjual dengan cekatan menyodorkan es dawet ke teman saya. Tiba giliran saya,
beliau menyodorkan mangkuk di atas lepek dan dengan sigap saya menerimanya.
“Mangkuknya saja,
Mbak,”kata penjual. Saat itu juga Saya merasa kebingungan.
“Lhoh lha lepeknya, Bu?”
Penjual hanya tersenyum
mendengar saya menanyakan hal tersebut. Saya pun dengan santai langsung
menyeruput dawet yang sudah ada di depan mata.
Rasa dawet yang segar dan
manis alami gula aren bercampur gurih santan kelapa. Dawet Jabung ini khas
dengan gempol yang terbuat dari tepung beras. Bila dijelaskan mirip dengan
mochi hanya teksturnya lebih kasar. Isi dari dawet Jabung adalah tape, cendol,
juruh atau gula, santan, dan es. Beberapa penjual juga kadang menyertakan tape
ketan dan irisan buah nangka diatasnya. Hmm, apapun itu lumayan juga untuk
pelepas dahaga.
Sebuah Tradisi
Setelah habis meneguk
semangkuk es dawet, barulah Saya menanyakan kembali perihal lepek atau tatakan
penyajian yang tidak boleh diambil tadi. Penjual bercerita, menurut tradisi
jaman dulu, jika ada seorang pria yang meminta lepek pada penjual, berarti
penjual bersedia dinikahi dan sebaliknya. Untung penjualnya perempuan ya, kalau
laki-laki berarti artinya Saya minta dinikahi dong? Semua tertawa terbahak
sambil menikmati gorengan di tangan masing-masing. Untungnya, ternyata jodohku bukan
penjual dawet jabung Ponorogo, hehe.
Dawet secara umum adalah
simbol dari kebulatan hati. Di sebagian daerah di Jawa, dawet umumnya dipakai
dalam rangkaian upacara pernikahan adat Jawa. Ada tradisi yang dinamakan Dodol
Dawet yaitu orang tua wanita berjualan dawet kepada tamu undangan. Namun
tradisi tersebut entah kenapa semakin lama terkikis oleh zaman.
Legenda Warok
Suromenggolo dengan Cerita Dawet Jabung
Terkait erat dengan
sebuah legenda, tangan kanan Raden Bathoro Katong atau Bupati Pertama Ponorogo
sekaligus Prabu Brawijaya V dengan warok Suromenggolo. Dikisahkan suatu hari
Suromenggolo perang melawan Jim Klenting Mungil penguasa gunung Dloka yang
memiliki pusaka andalan yaitu Aji dawet upas. Konon ajian tersebut menyerang Warok
Suromenggolo dan akhirnya Ia menderita luka bakar dan pingsan saat itu juga.
Setelah itu, Suromenggolo ditolong oleh penggembala sapi bernama Ki Jabung dan
diguyur dengan dawet buatannya. Setelah pulih dari luka bakar, Warok Suromenggolo
akhirnya bisa menaklukkan Jim Klenting Mungil dan bersabda, sebagai ucapan
terima kasih nantinya warga desa Jabung akan hidup makmur lantaran berjualan
dawet.
Dawet dan cerita lainnnya
Dawet memang identik
dengan cerita. Bahkan bukan hanya di Ponorogo, dawet pun sangat lekat dengan
sejarah Kabupaten Pati Jawa Tengah. Menurut Buku Gatronomi Indonesia, karya
Murdijati Gardjito tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kenikmatan
makanan dan minuman.
Menurut lama resmi Kabupaten Pati, pada zaman Majapahit, pendiri pertama
Kadipaten Pesantenan Raden Kembangjaya atau Pangeran Jayakusuma bersama
Kadipaten Carangsoka membuka hutan Kemiri untuk memperluas wilayah. Saat berada
di tengah hutan, datanglah seorang laki-laki Bernama Ki Sagola memikul gentong berisi
minuman, dawet. Raden Kembangjaya akhirnya memesan minuman tersebut. Ia juga
merasa terkesan dan penasaran dengan minuman manis dan segar tersebut. Raden
Kembangjaya kemudian menanyakan minuman tersebut kepada Ki Sagola. Minuman
tersebut terbuat dari pati aren yang diberi gula aren dan santan kelapa.
Kamajaya akhirnya juga memiliki inspirasi dan jika pembukaan lahan selesai akan
memberikan sebuah nama yaitu Kadipaten Pesantenan dan kini telah berubah
menjadi Kabupaten Pati.
Lain Pati, lain
Banjarnegara Jawa Tengah. Dawet Ayu Banjarnegara juga menjadi minuman khas dan
sangat mudah ditemukan di pasar-pasar tradisional. Asal usul kemunculannya pun
terdapat beberapa versi. Dilansir dari wanayasa.banjarnegarakab.go.id, berdasarkan
cerita turun temurun. Pada abad ke 20, ada sebuah keluarga yang berjualan dawet
dan pedagangnya terkenal dengan parasnya yang cantik. Itulah sebabnya, dawet
tersebut dinamai dawet ayu.
Namun ada pula yang
menceritakan kepopuleran dawet ayu berasal dari lagu yang dipopulerkan oleh
Grup Seni Calung dan Lawak Peang Penjol Banyumas yang terkenal pada era 70 atau
80an. Saat itu, grup lawak tersebut manggung di Banjarnegara dan kemudian
mencicipi dawet yang terletak di jalan Dipayuda. Karena terkesan dengan
penjualnya yang cantik dan rasa dawetnya yang enak, kemudian menginspirasi
terciptanya lagu banyumasan berjudul Dawet Ayu Banjarnegara. Saking
fenomenalnya cerita tersebut, dawet ayu juga menjadi salah satu mascot Kota
Banjarnegara dengan terbukti adanya Monumen Dawet Ayu di alun-alun Kota
Banjarnegara.
Lain Banjarnegara, lain
pula cerita dawet Desa Mantingan di Kabupaten Jepara dan Bayat di Kabupaten
Klaten, dawet kedua kabupaten tersebut memiliki rasa yang sama-sama mirip. Di
sisi lain, secara deduktif Bayat dan Joko Tingkir juga memiliki benang merah
sejarah. Lantas pertanyaannya, apakah Joko Tingkir pernah minum dawet seperti
Raden Kembangjaya? Apakah lagu lawas berjudul Joko Tingkir Ngombe Dawet
yang dinyanyikan kembali oleh Yeni Inka dan Farel Prayoga, dengan lirik benar
adanya?
“Joko Tingkir ngombe
dawet” (Joko Tingkir minum dawet)
“ Jo dipikir marai mumet”
(jangan dipikirkan bikin pusing)
Ah, jangan dipikirkan
nanti tambah pusing.
***
Komentar
Posting Komentar