Langsung ke konten utama

Makananku, Ceritaku: Jodohku Bukan Penjual Dawet Ponorogo!

                           



Saat melintasi kota yang mendapat julukan Bumi Reog, di sepanjang jalan di Desa Jabung Kabupaten Ponorogo Saya selalu menemukan penjual dawet yang kira-kira kalau dihitung ada sekitar 20 warung berjejer di sepanjang jalan.

Sambil berkendara diteriknya cuaca, saya pun akhirnya menikmati perjalanan sambil berdendang melantunkan lagu Cendol Dawet yang digaungkan oleh Godfather of Broken Heart Didi Kempot. Kira-kira liriknya seperti ini :

“Nangis batinku, nggrantes uripku” (menangis batinku, merasakan kehidupanku)

“Teles kebes netes eluh neng dodoku” (basah kuyup menetes air mata di dadaku)

“Cendol dawet, cendol dawet seger”

Kemudian saya memutuskan untuk mampir ke salah satu warung yang dekat perempatan Jabung, Dawet Jabung Bu Sumini namanya. Formasi meja pelanggan ditata mengelilingi penjual. Aneka gorengan seperti tahu isi, pisang goreng, tempe goreng, lentho, dan lain-lain pun tersaji disana.

“Bu, pesan dawet tigo nggih,” ucap saya sembari duduk. Memesan dawet 3 porsi untuk 3 orang waktu itu.

Sembari menunggu, gorengan tempe yang lebarnya satu jenggal jari saya bagi dua dengan teman saya. Ternyata nagih juga rasanya. Satu kurang dua kebanyakan, begitulah biasanya. Tangan penjual dengan cekatan menyodorkan es dawet ke teman saya. Tiba giliran saya, beliau menyodorkan mangkuk di atas lepek dan dengan sigap saya menerimanya.

“Mangkuknya saja, Mbak,”kata penjual. Saat itu juga Saya merasa kebingungan.

“Lhoh lha lepeknya, Bu?”

Penjual hanya tersenyum mendengar saya menanyakan hal tersebut. Saya pun dengan santai langsung menyeruput dawet yang sudah ada di depan mata.

Rasa dawet yang segar dan manis alami gula aren bercampur gurih santan kelapa. Dawet Jabung ini khas dengan gempol yang terbuat dari tepung beras. Bila dijelaskan mirip dengan mochi hanya teksturnya lebih kasar. Isi dari dawet Jabung adalah tape, cendol, juruh atau gula, santan, dan es. Beberapa penjual juga kadang menyertakan tape ketan dan irisan buah nangka diatasnya. Hmm, apapun itu lumayan juga untuk pelepas dahaga.

 

Sebuah Tradisi



Setelah habis meneguk semangkuk es dawet, barulah Saya menanyakan kembali perihal lepek atau tatakan penyajian yang tidak boleh diambil tadi. Penjual bercerita, menurut tradisi jaman dulu, jika ada seorang pria yang meminta lepek pada penjual, berarti penjual bersedia dinikahi dan sebaliknya. Untung penjualnya perempuan ya, kalau laki-laki berarti artinya Saya minta dinikahi dong? Semua tertawa terbahak sambil menikmati gorengan di tangan masing-masing. Untungnya, ternyata jodohku bukan penjual dawet jabung Ponorogo, hehe.

Dawet secara umum adalah simbol dari kebulatan hati. Di sebagian daerah di Jawa, dawet umumnya dipakai dalam rangkaian upacara pernikahan adat Jawa. Ada tradisi yang dinamakan Dodol Dawet yaitu orang tua wanita berjualan dawet kepada tamu undangan. Namun tradisi tersebut entah kenapa semakin lama terkikis oleh zaman.

 

Legenda Warok Suromenggolo dengan Cerita Dawet Jabung

Terkait erat dengan sebuah legenda, tangan kanan Raden Bathoro Katong atau Bupati Pertama Ponorogo sekaligus Prabu Brawijaya V dengan warok Suromenggolo. Dikisahkan suatu hari Suromenggolo perang melawan Jim Klenting Mungil penguasa gunung Dloka yang memiliki pusaka andalan yaitu Aji dawet upas. Konon ajian tersebut menyerang Warok Suromenggolo dan akhirnya Ia menderita luka bakar dan pingsan saat itu juga. Setelah itu, Suromenggolo ditolong oleh penggembala sapi bernama Ki Jabung dan diguyur dengan dawet buatannya. Setelah pulih dari luka bakar, Warok Suromenggolo akhirnya bisa menaklukkan Jim Klenting Mungil dan bersabda, sebagai ucapan terima kasih nantinya warga desa Jabung akan hidup makmur lantaran berjualan dawet.

Dawet dan cerita lainnnya

Dawet memang identik dengan cerita. Bahkan bukan hanya di Ponorogo, dawet pun sangat lekat dengan sejarah Kabupaten Pati Jawa Tengah. Menurut Buku Gatronomi Indonesia, karya Murdijati Gardjito tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kenikmatan makanan dan minuman.
Menurut lama resmi Kabupaten Pati, pada zaman Majapahit, pendiri pertama Kadipaten Pesantenan Raden Kembangjaya atau Pangeran Jayakusuma bersama Kadipaten Carangsoka membuka hutan Kemiri untuk memperluas wilayah. Saat berada di tengah hutan, datanglah seorang laki-laki Bernama Ki Sagola memikul gentong berisi minuman, dawet. Raden Kembangjaya akhirnya memesan minuman tersebut. Ia juga merasa terkesan dan penasaran dengan minuman manis dan segar tersebut. Raden Kembangjaya kemudian menanyakan minuman tersebut kepada Ki Sagola. Minuman tersebut terbuat dari pati aren yang diberi gula aren dan santan kelapa. Kamajaya akhirnya juga memiliki inspirasi dan jika pembukaan lahan selesai akan memberikan sebuah nama yaitu Kadipaten Pesantenan dan kini telah berubah menjadi Kabupaten Pati.

Lain Pati, lain Banjarnegara Jawa Tengah. Dawet Ayu Banjarnegara juga menjadi minuman khas dan sangat mudah ditemukan di pasar-pasar tradisional. Asal usul kemunculannya pun terdapat beberapa versi. Dilansir dari wanayasa.banjarnegarakab.go.id, berdasarkan cerita turun temurun. Pada abad ke 20, ada sebuah keluarga yang berjualan dawet dan pedagangnya terkenal dengan parasnya yang cantik. Itulah sebabnya, dawet tersebut dinamai dawet ayu.

Namun ada pula yang menceritakan kepopuleran dawet ayu berasal dari lagu yang dipopulerkan oleh Grup Seni Calung dan Lawak Peang Penjol Banyumas yang terkenal pada era 70 atau 80an. Saat itu, grup lawak tersebut manggung di Banjarnegara dan kemudian mencicipi dawet yang terletak di jalan Dipayuda. Karena terkesan dengan penjualnya yang cantik dan rasa dawetnya yang enak, kemudian menginspirasi terciptanya lagu banyumasan berjudul Dawet Ayu Banjarnegara. Saking fenomenalnya cerita tersebut, dawet ayu juga menjadi salah satu mascot Kota Banjarnegara dengan terbukti adanya Monumen Dawet Ayu di alun-alun Kota Banjarnegara.

Lain Banjarnegara, lain pula cerita dawet Desa Mantingan di Kabupaten Jepara dan Bayat di Kabupaten Klaten, dawet kedua kabupaten tersebut memiliki rasa yang sama-sama mirip. Di sisi lain, secara deduktif Bayat dan Joko Tingkir juga memiliki benang merah sejarah. Lantas pertanyaannya, apakah Joko Tingkir pernah minum dawet seperti Raden Kembangjaya? Apakah lagu lawas berjudul Joko Tingkir Ngombe Dawet yang dinyanyikan kembali oleh Yeni Inka dan Farel Prayoga, dengan lirik benar adanya?

“Joko Tingkir ngombe dawet” (Joko Tingkir minum dawet)

“ Jo dipikir marai mumet” (jangan dipikirkan bikin pusing)

Ah, jangan dipikirkan nanti tambah pusing.
***

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukit Mencol Karangasem Bali Timur, Surga Tersembunyi dengan Pura Suci dan Pantai Gili Selang

  Perjalanan di Bali berlanjut ke wilayah Bali paling Timur yaitu ke Bukit Mencol.   Bukit Mencol terletak di Banjar Gili Selang tepatnya di Seraya Timur. Pagi-pagi buta, Saya diajak Cici untuk berkeliling desa, berwisata, sekaligus menikmati pemandangan matahari terbit. Dalam hati   berkata, wisata apa yang pagi-pagi buta sudah buka? Kemudian Saya mengiyakan tanpa mandi maupun berdandan hehe. Namun tidak disangka makin ke ujung timur makin terlihat keren. Sepanjang perjalanan, Saya hanya ‘mlongo’ dan terus mengaktifkan kamera ponsel mode foto. Tidak disangka pemandangan hijau perbukitan dengan landscape pura suci dan pantai begitu indah tampak dari kejauhan. Jalanan pun sudah mulus beraspal. Nikmat mana lagi yang kau dustakan? Alasan Bangunan di Bali Tidak Melebihi Pohon Sedikit cerita saat perjalanan, pura suci Bali ternyata ada juga yang terletak di atas bukit. Saya juga tidak melihat ada rumah yang bangunannya menjulang tinggi atau melebihi pohon kelapa. Cici ke...

Kisah Lain di Benteng Pendem Van Den Bosch Ngawi dan 3 Jam Motoran yang Berkesan

  Motoran dari Kediri ke Ngawi membawa tantangan tersendiri, 3 jam sudah waktu yang kami tempuh dimulai dari kota asal kami, Pare Kediri menuju Ngawi pukul 06.30 wib. Berbekal nyali para perempuan tangguh sebelum menjelang siang atau sekitar pukul 09.00 wib kami pun telah sampai di kota yang mendapat julukan kota bambu dengan icon monumen bambu bertuliskan “Ngawi Ramah”. Benteng Van Den Bosch atau dikenal dengan Benteng Pendem yang terletak di pertemuan sungai Madiun dan sungai Bengawan Solo, berlokasi tidak begitu jauh dari pusat kota yaitu berjarak 1 km. Setelah memasuki lokasi Benteng Van Den Bosch kami parkirkan motor dan membayar tiket masuk sebesar 10.000 rupiah. Pemugaran Benteng Van Den Bosch Memasuki pelataran benteng, menurut versi yang Saya baca dan pengamatan secara langsung, memang benteng ini terlihat seperti dipendam dan dibangun lebih rendah dari tanah disekelilingnya. Fakta menariknya benteng ini ternyata sudah pernah dilakukan pemugaran di mulai dari tahun 2...

Bertemu dan Bertamu hingga Belajar Filosofi Rumah di Bali

Setiap kali berkunjung ke tempat baru Saya selalu menemukan pelajaran yang berharga terutama terkait perbedaan. Kalau kata Saya, apalah arti warna tembok jika yang beragam warnanya itu lebih indah. Bali menjadi salah satu bucketlist yang Saya tulis beberapa tahun lalu dan alhamdulillah terwujud pada 2023. Bersyukur dipertemukan dengan teman lintas pulau dan sekalinya bertemu teman baru maka belum afdol rasanya jika belum bertamu.  Selama perjalanan beberapa hari di Bali, Saya cukup excited dengan suguhan alam yang asri, barisan bukit yang indah, laut yang biru dan satu lagi rumah adat Bali yang khas. Khasnya Rumah Adat Bali Menurut kacamata awam Saya, sepanjang perjalanan dari Denpasar menuju Karangasem sangat banyak dijumpai gapura halaman rumah yang mirip candi atau pura serta atap khas Bali.   Mungkin dulu kita juga pernah mendengarnya pada mata pelajaran sejarah, ada sebuah manuskrip Hindu dengan judul “Lontar Asta Kosala Kosali” yaitu tentang aturan pembuatan rumah, pur...