Perjalanan wisata Solo di bulan Agustus lalu rupanya harus saya ulas agar kenangannya abadi disini. Destinasi wisata Solo memang mengundang penasaran. Meskipun kebanyakan wisatanya adalah museum dan paling ternama adalah keraton Solo.
Sebelum keberangkatan tentu itenerary sudah disiapkan, oya kali ini bukan saya
yang menyiapkan semuanya karena semua sudah tercover alias gratis. Mulai dari
pemesanan tiket kereta pulang pergi, sewa hotel di Solo selama 3 hari, menyewa
motor untuk mlipir wisata, bahkan tiket masuk wisata pun saya tidak mengeluarkan
biaya sepeser pun. Khusus untuk makan maupun oleh-oleh urusan pribadi hehe.
Yang jelas ini pengalaman atau cover gratis perjalanan saya kedua setelah
memutuskan resign dari pekerjaan utama saya beberapa bulan lalu.
Kunjungan ke Monumen Pers Nasional Solo menjadi salah satu bahan
bakar positif buat saya. Bukan sekedar monumen, ini adalah museum dengan
bangunan bergaya Eropa dan sentuhan Hindu Budha. Saya memang tidak paham seni
tapi terlihat jelas ornamen dibagian atas menyerupai stupa, sedangkan gaya
arsitektur Hindu Budha terlihat pada tembok gedung yang tersusun dari batu andesit.
Gaya arsitektur Eropa di Monumen Pers Nasional juga sangat terlihat pada pintu,
jendela, bahkan langit-langitnya, art deco sepertinya. Ciamik kali,
belum berkeliling saja sudah bersemangat.
Cuaca Terik dan Kenangannya di Solo |
Pintu Masuk di Monumen Pers Nasional Solo
Pada pintu masuk monumen Pers Nasional terdapat anak tangga dan
empat naga yang menghiasinya. Naga sebagai perlambangan kebijaksanaan. Naga
sendiri juga memiliki filosofi yang artinya intropeksi diri terhadap perilaku
atau perbuatan yang dilakukan. Dinamakan Catur Manggala Kura, surya sengkala
yang berbunyi Muluking Sedya Habangun Negara. Menurut informasi sejak pertama
kali dibentuk Republik Indonesia, dilakukan penyelenggaraan konferensi wartawan
seluruh Jawa yang kemudian lahirlah Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI dan
kemudian pada tanggal 9 Februari 1978, Soeharto meresmikan monument Pers
Nasional tersebut.
Terdapat pula kentongan yang cukup besar disebut Kyai Swara Gugah
yang bila ditelaah di jaman dulu informasi disampaikan dengan cara memukul
kentongan, sedangkan makna konotatifnya, makna memukul kentongan adalah
membangunkan melambangkan masyarakat tergugah untuk membangun negeri tercinta kit
aini, Indonesia.
Ruang Mangkunegaran dengan Koleksi Aslinya
Ruang Mangkunegaran dan Koleksinya |
Tiket masuk museum Pers Nasional gratis, Anda yang ingin berkunjung hanya perlu mendaftar secara online dengan dipandu oleh pemandu yang bertugas. Saat berkunjung di weekday pun terbilang sepi mungkin karena masih pagi, sekitar jam 08.00 tepat saya sudah sampai disana. Setelah melihat tokoh-tokoh pers, saya pun diajak ke ruang Mangkunegaran. Fokus mata tertuju pada radio beserta piringannya, namun sayang sekali hanya sekedar pajangan karena sudah tidak bisa digunakan.
Ruang Pamer Sejarah di Museum Pers Nasional Solo
Selain tokoh-tokoh pers, Anda juga akan melihat sejarah museum,
awal mula pencetusan, hingga kegiatan apa saja yang dulu dilakukan disini. Anda
akan dibawa ke gambaran masa lalu tentang bagaimana cara proses pembuatan
berita di media massa. Disini juga Anda akan menjumpai perangkat multimedia
kuno seperti kamera, perekam, terdapat pula mesin ketik kuno, perangkat radio,
hingga surat kabar dan majalah nasional dari terkini hingga masa silam alias
kuno. Saya bahkan melihat dan mengamati secara virtual alat untuk melakukan
siaran atau pemancar radio di masa silam. Khas dengan suara kambing, menurut
informasi dulu penyiaran berita di tempat yang aman atau dilakukan dimanapun
bahkan di kandang kambing. Alat yang digunakan pun tidak se-ringan kamera saat
ini.
Pemancar Radio Kuno |
Mesin Ketik Kuno |
Alat Rekam |
Majalah dan Surat Kabar Kuno |
Perpustakaan dengan Koleksi Terbanyak
Tour selanjutnya saya diajak melihat koleksi buku di perpustakaan.
Saya kaget karena di dalam perpustakaan ternyata sudah banyak orang dengan
kegiatannya masing-masing, baca buku, mengerjakan tugas, dan sebagainya.
Menurut informasi yang saya dapatkan, terdapat kurang lebih 15.000 judul buku
yang dapat diakses maupun dipinjam. Saya tidak terlalu lama disana karena saya
penasaran dengan tujuan saya selanjutnya.
Arsip Media Cetak Terbaru dan Terlama
View Pintu Khas Bangunan Belanda |
Sebelum menuju gedung selanjutnya saya mengamati gedung tengah memiliki jendela dan pintu khas Belanda. Saat memasuki ruang arsip media cetak saya pun dikejutkan dengan koleksi majalah tempo tahun 80an. Saya juga diberi akses untuk melihat bahkan mendapatkan koleksi versi onlinenya. Setelah saya buka beberapa dokumen saya tertarik untuk membedakan versi terbaru dan terlama bahkan demi memuaskan rasa penasaran saya, saya meminta nomor Whatsapp pustakawan untuk suatu saat nanti meminta arsip dokumennya hehe.
Majalah Tempo di Museum Pers Nasional Solo |
Ruang arsip media cetak di Monumen Pers Nasional Solo ini menyediakan banyak sekali koran dan majalah bahkan dari seluruh nusantara. Uniknya lagi berasal dari tahun sebelum kemerdekaan hingga sekarang dan bisa diakses oleh masyarakat. Bagaimana tidak betah berlama disana. Namun waktu cepat berlalu, masih banyak destinasi wisata Solo yang harus saya kunjungi. Oh iya jika tidak bisa berkunjung langsung ke museum, Anda juga bisa melakukan virtual tour museum yaitu dengan mengakses situs https://mpn.kominfo.go.id/ . Selamat mengulang sejarah.
Komentar
Posting Komentar